Wednesday, March 2, 2011

Dan Tuhan Pun Terpenjara

Dan Tuhan Pun Terpenjara




Bagi sebagian orang, konsepsi tentang Tuhan hanyalah suatu penisbahan idealitas manusia dalam menyikapi gejala-gejala alam. Perdebatan filsafat materialisme dan metafisik berawal dan berujung pada adanya zat mutlak yang tidak terbatas yang merupakan penyebab yang tidak tersebabkan. Secara fitrawi pada diri manusia penghambaan pada “sesuatu” adalah niscaya, namun persoalannya siapa yang menjadi rujukan dalam memahami Tuhan. Kaum atheis menolak Tuhan dalam artian metafisik, tapi kemudian mereka mempertuhankan hasil pemikiran atheistik tersebut. Pun orang beragama juga menawarkan konsepsi mereka masing-masing dan mengklaim bahwa merekalah yang benar dan orang lain salah.
Bentuk kebertuhanan adalah suatu hal yang mesti, namun kemudian karena tiap individu memiliki masing-masing sejarah dan realitas yang berbeda maka pemaknaan merekapun jadi berbeda. Dalam suatu agamapun yang menuhankan sesuatu ketika menyebut kata ganti untuk Tuhan maka dalam menginternalisir kata tersebut dalam pemaknaan akan berbeda.

Kita memahami bahwa ada zat yang Maha atas segala yang penyebab tidak tersebabkan sekaligus menjadi tujuan. Namun kemudian pahaman kita tentang sesuatu yang kita katakan “Tuhan”  terlembagakan dalam bentuk agama. Wakil Tuhan di muka bumi kita kenal sebagai agamawan yang berhak menerjemahkan teks suci firman Tuhan dalam konteks realitasnya. Kaum agamawan mempropagandakan agamanya masing-masing berdasar konsepsi ideal, yang kemudian berkonflik dengan penganut agama lain sampai pada pertumpahan darah. Dengan kata lain atas nama Tuhan yang Maha segala-galanya, manusia saling berbunuh-bunuhan.

Penjara pertama : Agama, Mazhab dan Simbol keagamaan 

Agama sebagai kumpulan teologi menawarkan konsepsi ketuhanan pada manusia untuk mengatasi keterasingan manusia dari fitrah penyembahannya. Dalam artian, agama menawarkan suatu konsep pemanusiaan manusia. Namun kemudian kumpulan teologi yang terlembagakan ini menjadi bebas kritik dan mutlak benar. Tuhan kemudian terkungkung dalam konsepsi teologi menurut masing-masing agama. 

Kemunculan agama tidak terlepas dari konstruk budaya setempat. Agama mengajarkan nilai-nilai tercampur dengan budaya setempat. Akibatnya kemudian adalah antara nilai dan simbol mengalami kekaburan. Orang dianggap beragama ketika pada wilayah simbolisasi mengenakan simbol keagamaan yang notabene berasal dari budaya tertentu. Dalam perkembangannya, orang bertuhan adalah orang yang mengenakan simbol-simbol keagamaan. Setelah pelembagaan konsep-konsep teologis yang bernama agama menyekap Tuhan dalam bilik sempit rumah peribadatan, Tuhan kembali diborgol dalam simbol keagamaan. 

Fanatisme yang berlebihan pada agama kadang jauh lebih besar jika dibandingkan ketundukan, kepatuhan dan kepasrahan. Bahkan bisa jadi orang telah mempertuhankan agamanya. Lebih parah lagi jika yang dipertuhankan adalah simbol meski mengaku sebagai orang yang bertuhan menurut standarisasi agama. Pada wilayah yang lebih sempit, mazhab sebagai ranting dari agama ternyata tidak kalah memenjarakan Tuhan. Arogansi mazhab yang berlebihan menyebabkan orang sadar atau tidak telah menuhankan mazhab. 

Tuhan disekap dirumah-rumah peribadatan, teks-teks doa dan ibadah ritual lainnya. Agama telah memisahkan Tuhan dengan orang-orang miskin, dengan anak jalanan. Tembok rumah ibadah menyebabkan Tuhan hanya bisa melongo melihat ciptaan-Nya diluar sengsara, miskin dan tertindas tanpa bisa melakukan apapun kecuali menyuruh untuk bersabar dan mengobral janji-janji.


Penjara kedua : Kaum Agamawan 

Kaum agamawan secara umum dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Tafsiran tentang Tuhan didominasi oleh kaum agamawan. Kelompok pemikir, kelompok awam, dan kelompok lain dalam masyarakat tidak memiliki “hak” untuk memahami Tuhan sesuai cara mereka. Tuhan yang dipahami oleh kebanyakan orang, tidak lain Tuhan menurut kaum agamawan. 

Standarisasi pahaman tentang Tuhan sebenarnya telah menindas kebebasan manusia dalam memahami Tuhannya. Tuhan telah disajikan oleh agama dan kaum agamawan secara instan pada pengikutnya dan mutlak benar. 

Seperti halnya mazhab sebagai kumpulan teologi dan perangkat praksis peribadahan yang mengungkung Tuhan, sebagian kaum agamawan pada sebuah mazhab memborgol Tuhan sesuai pahamannya sehingga pahaman diluar pahamnnya ditolak. Selain sebagai bentuk kebertuhanan pada mazhab, hal ini juga menunjukkan kebertuhanan pada pahaman dan ego. 

Kadang kaum agamawan menjadikan Tuhan sebagai budak mereka entah sadar atau tidak dengan cara memanipulasi firman-Nya untuk keinginannya. Tuhan tidak lebih sebagai pembenar dari segala tindakan kaum agamawan.


Penjara ketiga : kekuasaan dan kepentingan 

Agama adalah suatu hal yang sangat pribadi yang kadang orang kehilangan akal sehat ketika agamanya disinggung. Kondisi ini wajar akibat pembentukan kesadaran semu secara dogmatis yang sampai pada tingkat alam bawah sadar manusia. Kekuatan yang menguasai kesadaran manusia ini dapat dimanfaat oleh orang-orang tertentu yang memiliki kepentingan. Misalnya suatu kelompok atau individu yang mendapat keuntungan dari konflik akan dengan mudah mengangkat isu-isu agama. Nama Tuhan kadang diangkat untuk menciptakan konflik. Disini, mirip dengan penjara sebelumnya, ajaran Tuhan ditafsirkan dan dianjurkan oleh agamawan melalui jaringan kekuasaan. Akhirnya kadang sebagian agamawan hanya menjadi kaki tangan penguasa dan melicinkan kepentingan segelintir orang dengan cara “menangkap Tuhan” dan menyajikan pada masyarakat. 

Selain sebagai komoditas politik, agama juga dapat digunakan sebagai komoditas ekonomi. Tidak berarti Tuhan melarang kegiatan ekonomi manusia, tapi “Tuhan dipasang” dalam kemasan produk atau iklan sebagai legalisasi dalam proses distribusinya.

Tuhan dikampanyekan untuk kepentingan tertentu, dan pihak yang berkepentingan merasa bahwa dirinyalah yang paling memahami Tuhan. Kelompok manusia dieksploitasi untuk atas nama Tuhan. Ajaran Tuhan ditafsirkan sesuai kepentingan dan keinginan. Firman Tuhan diracik agar menjadi legitimasi kekuasaan dan kepentingan. Kelompok manusia yang satu dengan yang lain diadu dan ditumpahkan darahnya atas nama Tuhan demi kepentingan segelintir orang. Tuhan telah disembunyikan dibawah ketiak kekuasaan dan nanti dikeluarkan dan menghirup udara segar ketika kezaliman menentang kekuasaan. Muncul kemudian istilah “atheis” bagi orang yang menginginkan pembebasan.

 

Penjara keempat : pahaman dan ego 

Pada diri setiap makhluk ada kerinduan pada penciptanya. Ini suatu bentuk kelumrahan dimana pencipta selalu menitip kerinduan tersebut pada sanubari tiap makhluk yang nantinya motivasi bagi makhluk dalam bergerak dalam perjalanannya. Disamping kerinduan, hal yang tidak terpisah pada makhluk khususnya manusia adalah pengetahuan akan adanya pencipta yang mencipta dengan teliti dan seimbang serta mengatur segala kebutuhannya. 

Namun kemudian Tuhan diklaim hanya dipahami segelintir orang. Ketika ada orang lain yang berusaha untuk memaparkan pahamannya tentang Tuhan maka ego individu muncul dan menganggap hanya dirinyalah yang benar.

Beda penjara kedua, ketiga dan keempat adalah penjara terakhir ini berbicara pada “penahanan” Tuhan pada dunia ide sedang yang lain pada realitas empiris. Benang merah yang dapat ditarik dari semua penjara ini adalah Tuhan telah tercipta, bukan mencipta.


Membebaskan Tuhan 

Ada beberapa pertanyaan mendasar, betulkah Tuhan yang kita sembah ada Tuhan yang sebenar-benarnya ? Atau benarkah justru kitalah yang menciptakan Tuhan lalu menyembahnya ? Benarkah rumah peribadatan adalah rumah Tuhan yang tiap rumah peribadatan memiliki Tuhan yang berlainan ? 

Untuk menjawab pertanyaan diatas kita mulai dari pemaknaan tentang Tuhan. Kita semua berhak untuk bertuhan dan memahami Tuhan. Namun persoalannya adalah kalau yang kita maksud dengan Tuhan adalah dzat yang tidak terbatas, maka mampukah kita memahaminya ? Artinya tidak akan ada suatu makhluk yang mampu menyembah Dia sebagaimana seharusnya Dia disembah. Bukankah yang memahami diri-Nya adalah diri-Nya sendiri. Lantas mengapa mesti kita yang selalu merasa paling benar ? 

Kritikan untuk orang beragama adalah mengapa untuk bertuhan mesti beragama ? Apakah diluar agama Tuhan tidak ada lagi ? Begitu lemahnyakah Tuhan sehingga Dia diikat oleh penyembah-Nya sendiri. 

Kita perlu merenungi bahwa faktor yang membuat kita beragama tertentu tidak lepas dari agama orang tua. Tapi pernahkah kita meminta untuk lahir dari orang tua yang beragama tertentu. Eksistensi kita bersifat determinan, dalam artian telah ditentukan dari siapa dan lingkungan mana dilahirkan. Kita tidak pernah tawar-menawar dengan pencipta untuk dilahirkan dari orang tua yang beragama atau bermazhab A, misalnya, sama dengan lahirnya kita dari orang tua yang kaya, miskin, suku ini, suku itu dan seterusnya. 

Saat kita berpikir bahwa semua adalah ciptaan-Nya, maka secara fitrawi kita akan menghargai segala makhluk ciptaan-Nya. Bentuk penghargaan ini mengarah kepada penghargaan pada pencipta. Artinya penghargaan kita pada pencipta tercermin dari penghargaan kita pada ciptaan-Nya. Fitrah inilah yang harus dioptimalkan melalui pengamalan nilai-nilai dalam realitas kehidupan, bukan menunduh orang sesat-kafir disana-sini. 

Jika kita renungkan pluralitas penciptaan maka potensi konflik dan potensi menyempurna tergantung dari pemaknaan kita terhadap perbedaan. Jika kesamaan yang kita jadikan sebagai patokan, maka niscaya konflik akan muncul. 

Untuk konteks ini tidak ada salahnya kita menengok Nietszche dengan ungkapannya yang tekenal “Tuhan telah mati”. Ya, Tuhan telah mati di hati kita dan yang ada adalah Tuhan-tuhan baru yang kita ciptakan lalu kita sembah. Kita tak ubahnya penyembah berhala, kelompok orang yang selalu kita gugat. 

Tentu Tuhan yang sesungguhnya tidak pernah mati, tapi pemaknaan kita pada nilai ketuhanan telah berpudar. Tuhan tidak lagi bersama kita, tapi terasing dirumah peribadatan yang seakan meminta kita untuk mengunjungi lalu menyembahnya.

Supaya tulisan ini bukan suatu bentuk penciptaan pada Tuhan baru dan memenjarakannya dalam ide pada tulisan ini, maka penulis menyerahkan pada Tuhan yang sebenarnya Tuhan. Tuhan yang hanya dipahami oleh diri-Nya sendiri yang makhluk-Nya hanya mampu mengetahui adanya, tidak lebih.





 
Mohon maaf jika ada salah-salah kata...
Mohon maaf jika copy-paste...

Credit to: Warga Ramsis 2B/306 04:10 am

0 comments:

Post a Comment